Pertarungan Narasi Papua di Media Digital Pemilu 2019 dan 2024
Jakarta, 8 Agustus 2025 – Riset disertasi doktoral yang dipresentasikan oleh Kennorton Hutasoit dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor di Universitas Padjadjaran mengungkap bahwa media digital, khususnya Twitter/X, telah menjadi arena utama pertarungan wacana politik mengenai Papua dalam dua pemilu terakhir. Studi ini secara komprehensif mengintegrasikan analisis media online, media sosial, dan wawancara elite untuk memetakan dinamika narasi antara kubu pro-NKRI dan Papua Merdeka.
Sidang selama 2 jam ini berlangsung di ruang sidang terbuka promosi doktor Ilmu Komunikasi, Unpad, Jatinangir, Sumedang, Jawa Barat pada Rabu 6 Agustus 2025. Sidang Promosi Doktor Kennorton Hutasoit ini diketuai Dr. Dadang Sugiana. Ketua Promotor Prof. Dr. Suwandi Sumartias, anggota Promotor Prof. Dr. Dadang Rahmat Hidayat (Dekan Fikom Unpad), representasi guru besar Prof. Dr. Eni Maryani, dan oponen ahli yang terdiri atas Prof. Dr. Atwar Bajari, Dr. Evie Ariadne Shinta Dewi, dan Dr. Agus Rahmat mencecar promovendus yang sehari-hari jurnalis media televisi ini dengan berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tajam mulai dari paradigma, teori, metodologi, hasil, dan kesimpulan dapat dijawab promovendus dengan baik.
Adapun temuan dari penelitian dengan pendekatan mixed-methods ini menunjukkan bahwa pada Pemilu 2024 terjadi pergeseran signifikan dalam konfigurasi aktor. Jika pada 2019 narasi lebih didominasi oleh aktor formal seperti elite politik, maka pada 2024 dominasi berpindah ke akun-akun anonim dan nonformal yang viral dan masif di ruang digital. "Polarisasi tajam terbentuk antara narasi negara dan kelompok separatis, yang saling memperebutkan makna melalui simbol, propaganda, dan retorika digital," kata penguji Uji Kompetensi Wartawan di LPDS Jakarta ini.
Melalui analisis jejaring media sosial dan pendekatan semiotika sosial Halliday, penelitian ini menunjukkan bahwa media online turut mereproduksi narasi hegemonik negara, sementara media sosial menjadi ruang artikulatif yang memperlihatkan politik identitas dan trauma kolektif orang Papua. "Di sinilah muncul bentuk baru partisipasi politik digital berupa connective action, yang berkembang karena kemajuan teknologi, ketidakadilan struktural, serta peran diaspora Papua di ranah global," ujar Ken yang memulai berkarir sebagai jurnalis sejak 2002.