Surat Untuk Polisi Militan "PM"
Oleh: Fauzi As
Tulisan ini bukan hoaks, bukan pula laporan resmi. Ini hanya selembar suara dari warung pinggir jalan, jika salah penanganan bisa saja masuk di meja rapat Mabes.
Pesan ini saya tujukan, dengan segala kehormatan berisi kepedihan, kepada Pimpinan Polisi Militan, atau yang oleh orang-orang biasa disebut: PM.
Cerita ini dimulai seperti biasa: ada penangkapan rokok ilegal di sebuah kota besar yang namanya masih saya simpan.
Biasa saja, karena memang itulah kerja polisi, menangkap. Tapi entah kenapa, yang satu ini agak beda rasa.
Mobil pengangkut rokok itu, konon disopiri oleh anggota. Ya, anggota. Tapi anggota apa? TNI? Polri? Ormas berkostum militer? Atau mungkin hanya “anggota bayaran” yang digaji khusus oleh bosnya sendiri?
Tenang saja, saya simpan dulu nama satuannya. Akan saya buka pelan-pelan, seperti api kecil yang bisa saja membakar sarungnya sendiri.
Yang membuat kisah ini makin lucu adalah: sang “anggota” sudah diperiksa dan katanya sedang diproses.
Tapi rokoknya? Masih beku, diam di tempat entah di mana, ini seperti kasus penemuan mayat yang belum dibawa ke kamar jenazah.
Sudah lebih dari sebulan, tak kunjung diserahkan ke Bea Cukai. Tak ada berita acara, tak ada pelimpahan, yang ada hanya bisikan pelan dari seorang bos “PM” yang bilang: "Panggil dulu pemiliknya, baru bisa lanjut."
Loh, Bos, ini logika hukum atau drama sinetron? Kalau yang bawa anggota situ sendiri, yang nyetir mobil juga bagian dari pasukan sendiri, kenapa justru pedagang eceran yang akan dijadikan tumbal di muka publik?
Sebagian besar pedagang ini, jangankan pabrik, alamat gudang pun mereka tidak tahu. Mereka hanya kenal sales jalanan, itu pun hanya sesekali lewat.
Tapi sekarang mereka diminta hadir seolah-olah bos utama yang mengendalikan mata rantai rokok dari atas sampai ke label cukai. Bayangkan rakyat kecil, baru belajar jualan, tiba-tiba dipaksa ikut audisi seperti di KPK.
Kooperatif Tapi Tetap Dipojokkan
Yang lebih menyakitkan adalah: pedagang justru sangat kooperatif. Mereka tidak lari, tidak ngeles, bahkan siap memberi data.
Tapi apa balasannya? Dijadikan bola pimpong antar satuan. Hari ini dipanggil PM, besok dipanggil pemilik modal, karena barang hasil hutangan, lusa diajak ngopi sama bawahan. Ini serupa mantra gelap yang dipahami semua orang.
Tak pernah tertulis dalam aturan. Jika pedagang tidak mengerti, dituduh membangkang. Jika mengerti, dianggap setoran. Begitu rakyat kecil tidak paham jalur, langsung dianggap kriminal. Tapi begitu tahu sedikit, dicurigai sebagai jaringan.
PM: Polisi Militan atau Pemersulit Masyarakat?
PM semestinya jadi pelindung hukum, bukan penafsir tunggal keinginan. Tapi kini malah seperti penyidik bayangan, yang kerjanya setengah terang, setengah gelap.
Tangkap dulu, cari pasalnya nanti. Simpan dulu barangnya, bikin kabut prosedur kemudian.
Dan ketika pedagang menjelaskan lebih dalam, mereka menganggap ada yang disembunyikan: siapa dalang pengendali pengiriman? siapa pemilik asli barang?
Tapi mereka pikir rakyat tidak tahu siapa siapa saja yang selama ini bermain di belakang lencana?
Tapi tak semua bisa dibuka. Sebab jika saya ungkap semua data dan foto dengan vulgar, bisa jadi wajah yang penuh bintang akan dipenuhi bintik-bintik hitam dari kotoran sendiri.
Saya tahu, tulisan ini samar. Bukan karena saya takut. Tapi karena saya sadar, bahwa terlalu banyak kamera yang mengintai, bukan untuk menuntaskan kebenaran, melainkan untuk menghancurkan reputasi institusi.
Jangan Main-Main dengan Warung Kecil
Saya menulis ini bukan untuk menyerang. Tapi untuk mengingatkan: jangan jadikan rakyat kecil sebagai alat negosiasi hukum.
Jangan buat mereka jadi komoditas untuk menaikkan nilai tawar di antara para bos.
Sebab jika rakyat sudah muak, dan semua data mereka buka, maka yang akan terbakar bukan warung kecil, tapi kantor besar yang penuh bendera kehormatan.
Jangan paksa rakyat memilih antara diam dan rusak. Karena saat mereka mulai bicara, bukan hanya tembok yang runtuh, tapi juga kepercayaan.
Terakhir pesan kepada Bos PM, tegakkanlah keadilan, sebelum keadilan menghantam balik. Kooperatiflah, karena jalan tidak didapat dengan cara instan. Ia diperoleh dengan cara halal dan pola persahabatan.
Terakhir tulisan ini hanya bayangan, wajah asli masih bersabar dengan hati yang tumbuh subur. Namun jangan sampai nurani kabur bersama asap dalam truk hijau.