TNI Serbu Bea Cukai
Oleh: Fauzi As
Surabaya-, Jangan panik dulu, Ini tulisan serius dan menegangkan. ambillah segelas kopi, agar tetap nyaman membaca sampai tuntas. Tapi artikel ini adalah kabar baik, yaitu kabar tentang adanya upaya perbaikan dari Presiden kita. TNI serbu Bea Cukai adalah sebuan serangan bagi penjahat negara, penyelundup narkoba, pupuk palsu dan segala bentuk kejahatan kepabeanan.
Kemarin seorang Letnan Jenderal dikabarkan sudah ditunjuk Presiden untuk memimpin Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dia adalah Letjen TNI Djaka Budhi Utama, yang akan menggantikan Askolani.
Apakah ini salah penempatan? Tidak. Ini justru langkah strategis, semacam drop pasukan ke wilayah rawan. Ya, karena rawan maka tulisan ini bisa dianggap sebagai surat terbuka bagi calon dirjen Bea Cukai yang baru. Potret kecil dari industri kecil, dari rakyat kecil yang menulis realita pulau terpencil bernama Madura.
Kami tahu bahwa hari ini bukan zamannya perang senjata, melainkan perang logistik perdagangan, dan penyelundupan barang haram, dari narkoba hingga pupuk oplosan. Jangan dibayangkan tugas Bea Cukai hanya menghitung berapa jumlah kontainer, berapa yang sudah tersegel. Letjen Djaka tidak sedang magang di pelabuhan. Ia sedang menyusun strategi pertahanan ekonomi nasional, dari gudang di seluruh pelabuhan, hingga gudang rokok dan tembakau Madura.
Saya pribadi mendukung penuh kehadiran TNI dalam posisi-posisi strategis seperti ini. Karena perang yang kita alami adalah perang harga, perang kelaparan, dan tentu saja, perang melawan penjajahan ekonomi skala global. Tidak cukup dengan acara rapat, paparan dan seremonial. Butuh nyali, butuh ketegasan dan keluwesan.
Tentu sudah wajar begitu sang Letjen mulai berkantor di Bea Cukai, banyak yang akan mendadak panik. Lampu kantorpun bisa berkedip, para mafia mulai keringat dingin, wartawan mulai mengendus, netizen pun heboh bertanya.
“Ada apa di Bea Cukai? Apakah kita sedang bersiap perang dagang?”
Tenang. Ini bukan perang berdarah, ini perang birokrasi melawan pembusukan.
Sebab peran Letjen Djaka bukan hanya menegakkan disiplin upacara bendera, tapi memperbaiki regulasi yang bolong, sebolong jalan raya pulau Madura.
Perlu di ingat, Bea Cukai bukan institusi receh. Lembaga ini mengelola pendapatan hingga 300 triliun rupiah per tahun bukan dari menjual pupuk palsu, bukan setoran rokok ilegal, tapi dari mengatur pintu masuk dan keluar ekonomi bangsa.
Dan dalam kondisi seperti ini, kita butuh tangan besi, strategi licin, dan cara-cara taktis yang tidak bisa diajarkan dalam seminar motivasi.
Saya berbicara dengan banyak pemilik pabrik rokok kecil di Madura. Mereka menyambut kehadiran Letjen Djaka seperti petani menyambut hujan dalam kemarau panjang. Selama ini mereka merasa sendirian menghadapi tekanan bukan hanya dari pasar, tapi dari regulasi yang kadang lebih rumit dari bidak catur.
Lalu apa saja yang sudah dilakukan Pemerintah? Tentu pemerintah tidak diam, sudah banyak berbuat, tetapi kurang strategi, kurang empati dan belum sepenuhnya rasional.
Contoh kebijakan yang dilakukan seperti Cukai Bertingkat (Tiered Tax) Pemerintah membuat tarif berbeda sesuai jenis dan volume produksi (SKT vs. SKM).
Tujuannya mulia, agar produsen kecil tidak kehabisan napas. Tapi sayangnya...
Batasan volumenya terlalu rendah, hingga banyak pengusaha kecil memilih tetap ilegal ketimbang naik kelas dengan potensi kebangkrutan 90%.
Kedua kemudahan perizinan (OSS)
Sejak 2021, izin industri rokok bisa diajukan lewat OSS. Bahkan ada program edukasi di beberapa sentra tembakau.
Namun... Di lapangan, OSS kadang terasa seperti portal ke alam lain. Banyak pengusaha kecil yang masih gagap digital, dan bertemu lagi dengan rintangan birokrasi yang terus mengesalkan.
Yang ketiga adalah operasi penindakan rokok ilegal, Bea Cukai aktif menggelar razia. Bahkan masuk ke kampung-kampung Madura. Masalahnya...
Penindakan itu tak diiringi dengan pendampingan. Akibatnya, lebih terasa seperti menertibkan kambing yang nyasar ke kebun, bukan menjadi solusi jangka panjang.
Kemudian apa yang belum atau asih lemah?
1. Amnesti Cukai bagi UMKM Rokok Tradisional. Tak ada skema ‘pengampunan cukai’ untuk pelaku usaha kecil yang ingin keluar dari zona ilegal. Mereka butuh jaminan bahwa legalisasi tidak berujung pada kebangkrutan.
2. Pendampingan dari Pemda.
Berbeda dengan UMKM makanan-minuman, UMKM rokok tradisional nyaris tidak punya pendampingan. Dinas koperasi dan perindustrian lebih sibuk membuat pelatihan sablon daripada menyentuh sektor tembakau yang DBHCHT-nya dinikmati, sementara petani terus bermimpi.
3. Subsidi atau Akses Pita Cukai.
Pita cukai masih seperti mimpi bagi pengusaha baru. Syaratnya? Gudang harus tersedia, bank harus menjamin, dan modal harus bersih, semuanya seperti menjalani ujian masuk surga.
4. Branding dan Perlindungan Produk Lokal
Pemerintah belum pernah merilis label semacam “Rokok Lokal Legal”. Padahal ini penting, agar produk tradisional bisa bersaing secara sehat di pasar. Bukan kalah karena logo, tapi karena tidak diberi tempat.
Surat ini wajib dibaca oleh Pak Lenjen, Agar bisa menjadi gambaran betapa susah ekonomi bangkit tanpa tangan besi. Meski pemerintah sudah berusaha. Tapi pendekatannya lebih seperti memukul dengan palu emas, mahal, tapi tak tepat sasaran.
Yang dibutuhkan bukan sekadar fiskal dan represif. Tapi pendekatan sosial, humanis, dan komunitas. Jangan hanya diberi larangan, tapi buatkan jembatan.
Jangan hanya diberi razia, tapi beri mereka peta keluar dari kegelapan.
Karena kalau petani tembakau kehilangan harapan, dan pengusaha kecil tak punya tempat, maka negara akan dipenuhi asap.
Bukan dari rokok...tapi dari kemarahan rakyat kecil yang dapurnya dibakar sendiri.