Ragam Jenis Wartawan/Jurnalis "Katanya"

Ketua IJTI Korda Madura Raya, Veros Afif
Sumber :
  • IJTI MADURA

Oleh: Veros Afif

  • Ketua IJTI Madura Raya
  • Managing Editor www.madura.viva.co.id
  • Jurnalis TV ONE  
IJTI Kecam Keras Aksi Teror terhadap Tempo

Surabaya-, Ini ilmu Investigasi baru tanpa data tanpa malu." Di tengah menjamurnya peredaran rokok ilegal di Madura, satu komunitas jurnalisme baru lahir lagi: Yaitu jurnalisme "katanya." Ini jauh dari jurnalisme investigasi semacam liputan Kompas atau Tempo. Ini mirip permainan sambung kata, hanya saja kata yang disambung adalah bisik-bisik, katanya dan kabarnya.

 

Polres Pamekasan Tetapkan Pelaku Intimidasi Jurnalis TV Jadi Tersangka

"Katanya di desa ini ada pabrik rokok ilegal. Katanya pemiliknya dekat dengan orang besar. Katanya dia jualan pita cukai, katanya beacukai tidak tegas." Itulah hasil liputan dari Wartawan Katanya. 

 

Mendukbangga dan IJTI Bersinergi dalam Penguatan Peran Media untuk Pembangunan Keluarga

Nama medianya tidak jelas, alamat redaksinya berubah-ubah. Tapi jangan salah, Kalau soal kartu pers mereka baru terus karena nyetak sendiri.

 

"Pengusaha kecil, sasaran besar."

Pabrik rokok lokal di desa terpencil menjadi sasaran utama. Bukan karena datanya kuat, tapi karena mudah diintimidasi. Wartawan Katanya datang dengan mobil pinjaman, kamera pemberian pejabat korban pemberitaan, lalu berkata, “Kami dari media investigatif, kami dapat info Bapak memproduksi rokok ilegal dan jualan pita cukai.”

 

Lalu muncullah kalimat pamungkas: “Kami bisa bantu supaya berita ini nggak naik lagi, asal ada itikad baik.”

 

Itikad baik, dalam kamus mereka, berarti sejumlah uang tunai, rokok satu dus, atau pulsa 300 ribu. Tidak perlu bukti kuat, cukup dengan "katanya," berita pun tayang. Judulnya bombastis, isinya minimalis. Kalimat pertama dimulai dengan "menurut informasi yang beredar," dan paragraf terakhir selalu ditutup dengan "hingga berita ini diturunkan, pihak terkait belum bisa dikonfirmasi." Faktanya mereka tak pernah konfirmasi.

 

Berita ini kemudian diunggah di blog gratisan, dengan domain yang sulit dipercaya. Ironisnya, sebagian besar masyarakat percaya karena ada embel-embel luar negeri. Padahal, yang mereka lakukan bukan investigasi, melainkan copy paste dari grup WhatsApp.

 

Oknum Yang Ditangkap, Bukan Karena Berani, Tapi Karena Gagal.

Beberapa wartawan Katanya akhirnya ditangkap polisi. Bukan karena mereka membongkar skandal besar, tapi karena nekat memeras tanpa data. Contoh kasus di Jawa Tengah: Seorang oknum wartawan online ditangkap saat memeras pabrik tembakau lokal. Modusnya klasik: ancam naikkan berita jelek, lalu minta uang damai. Si pemilik pabrik, yang kebetulan adiknya polisi, langsung pasang jebakan.

 

Dalam konferensi pers, Kapolres menyebut, "Tersangka mengaku sebagai wartawan investigasi, tapi saat ditanya medianya apa, tidak bisa menunjukkan alamat redaksi dan penanggung jawab."

 

Pengetahuan Pendek, Ketikan Panjang

Wartawan Katanya tidak dibekali pelatihan jurnalistik. Mereka hanya bermodal lisensi abal-abal dari lembaga pelatihan fiktif. Tidak heran jika tulisannya banyak kesalahan. Misalnya:

 

 "Masyarakt mengeluhkan prabrik rokok ilegal yang mengeluarkan bau tengik dan mencemari linkungan."

 

Dalam jurnalistik yang benar, satu kesalahan bisa membuat kredibilitas jatuh. Tapi dalam jurnalisme Katanya, kesalahan justru jadi gaya bahasa. Kesalahan jadi bukti bahwa berita itu spontan dan orisinal tidak disunting dengan AI dan ChatGPT.

 

Bertanya , Atau Menodong

Ketika ditanya data, mereka berang. “Kamu bela pengusaha ya? Kamu dibayar berapa?” Mereka tidak suka pertanyaan balasan. Bagi mereka, satu pertanyaan terasa ancaman. Dua pertanyaan sama dengan kriminalisasi.

 

Etika jurnalistik? Itu dianggap konspirasi wartawan mapan untuk menekan wartawan akar rumput. Padahal, wartawan beneran justru lebih suka riset ketimbang teriak-teriak.

 

Satir Sebagai Penangkal Kegoblokan

Wartawan Katanya sebenarnya bisa diselamatkan. Caranya? Satir. Liputan-liputan absurd mereka bisa dikembalikan dengan liputan tandingan yang lebih satir.

 

Misalnya, jika mereka menulis: “Katanya ada pabrik rokok ilegal di balik rumah Pak RT.”

 

Maka balasan dari media waras bisa berupa: “Katanya wartawan itu melihat pabrik dari mimpi semalam.”

 

Atau: “Menurut sumber yang tak mau disebut namanya karena tidak ada, pabrik rokok tersebut sebenarnya hanyalah kandang ayam.”

 

Jurnalis Sejati Tak Pernah Berkata ‘Katanya’ Jurnalisme bukan soal menjadi cepat, tapi soal menjadi benar. Wartawan sejati adalah mereka yang menyalakan cahaya di ruangan gelap, bukan menyalakan api di ladang kering.

 

Wartawan Katanya bukan musuh, tapi gejala. Gejala dari sistem informasi yang lemah, minim verifikasi, dan terlalu mudah percaya. Saat masyarakat membaca berita tanpa bertanya, saat itulah ‘katanya’ jadi kenyataan.

 

Dan selama itu terjadi, jangan heran jika liputan investigasi lokal kita kalah jauh dari laporan riset mahasiswa semester tiga.

Pada akhirnya pers dihadapkan pada dua pilhan: Pers hadir sebagai sebagai profesi yang dibutuhkan masyarakat, atau sebagian lagi menakut-nakuti rakyat, yang terintimidasi dengan berita "KATANYA"