Tangisan Warga Miskin Penerima BSPS di Sumenep: Haruskah Sia-Sia?
Sumenep — Ribuan warga miskin, dari daratan hingga pulau-pulau terpencil di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, hanya bisa menangis pilu. Harapan besar yang disematkan pada Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) kini tinggal luka dan kekecewaan. Mereka tak pernah menduga, bantuan untuk rumah layak huni yang dijanjikan pemerintah justru berubah menjadi ladang empuk permainan korupsi.
Air mata itu nyata, bukan simbolis. Seorang nenek tua di Pulau Sabuntan, Kecamatan Sapeken, dengan bahasa Bajo yang lirih, menceritakan kisahnya. Ia tidak pernah melihat wujud uang sepeser pun. Tidak juga melihat rumahnya berdiri layak sebagaimana janji program. Yang ia terima hanya beberapa lembar papan. Ironisnya, upah tukang pun harus ia tanggung sendiri. "Katanya dibantu 20 juta, tapi yang datang cuma papan. Saya malah kasih makan tukangnya sendiri. Uangnya ke mana?" lirihnya, sambil menatap lantai tanah rumahnya yang mulai lapuk.
Cerita seperti ini bukan satu atau dua. Ini adalah suara dari ribuan warga yang merasa dikhianati. Mereka hanya meminta satu: keadilan. Namun, harapan itu kian redup ketika penanganan hukum atas dugaan korupsi BSPS berjalan lambat. Seperti kura-kura, bahkan mungkin lebih pelan. Padahal bukti-bukti lapangan, keluhan masyarakat, dan jejak digitalnya sudah terang benderang.
Mengapa lambat? Pertanyaan itu menggema di banyak mulut warga. Apakah karena ada "nama besar" yang melindungi pelaku? Ataukah karena hati nurani para penegak hukum telah terkunci, tertutup untuk melihat penderitaan rakyat miskin?
GARDASATU (Garuda Sakti Bersatu), organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap isu keadilan sosial, menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Ketua GARDASATU Jawa Timur, Badrul Aini, menegaskan bahwa kejahatan dalam program bantuan rakyat miskin tidak bisa ditoleransi. “Mereka bukan hanya mencuri uang negara, tapi juga harapan dan hak hidup layak dari orang-orang miskin. Ini dosa sosial yang sangat berat,” ujarnya.
Rakyat kecil memang sering jadi korban. Tapi mereka tidak sendiri. Suara mereka, air mata mereka, dan rumah-rumah reyot mereka akan menjadi saksi betapa keadilan harus diperjuangkan, bukan diminta-minta.
Dan pertanyaan itu masih menggantung di langit Sumenep: "Haruskah tangisan warga miskin penerima BSPS ini sia-sia?"