Pelet Kandung: Upacara Tradisional Penyiraman Bagi Perempuan Hamil di Madura
Madura – Mempunyai keturunan atau anak merupakan salah satu impian terbesar bagi setiap pasangan atau suami istri. Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT dalam sebuah rumah tangga, dan menjadi kebahagiaan yang tidak hanya dirasakan bagi pasangan suami istri tersebut, namun juga bagi saudara dan semua sanak famili.
Salah satu tradisi sebagai rasa syukur atas kehamilan bagi seorang istri di Madura disebut dengan Pelet Kandung atau Pelet Betteng. Pelet kandung adalah salah satu upacara tradisional masyarakat Madura yang hingga kini masih tetap dilestarikan. Upacara atau selamatan ini dilaksanakan jika usia kehamilan mencapai empat atau tujuh bulan.
Uniknya, upacara masa kehamilan yang disebut sebagai pelet kandung ini diadakan secara meriah, hanya pada saat seorang perempuan mengalami masa kehamilan untuk yang pertama kalinya. Pada masa kehamilan yang kedua, ketiga, dan seterusnya, upacara pelet kandung tetap diadakan. Namun, tidak semeriah upacara pada saat mengalami kehamilan untuk pertama kalinya.
“Macam-macam, tapi pelet kandung lumrahnya dilakukan saat usia kehamilan mencapai tujuh bulan. Biasanya, tanggal 14 pada kalender hijriah. Meski demikian, ada pula yang menggelar acara pelet kandung di saat usia kehamilan empat bulan, karena Allah SWT meniupkan roh pada calon bayi di saat umur empat bulan di dalam kandungan. Tidak masalah, mau melaksanakan pelet kandung saat tujuh bulan maupun empat bulan, karena pada hakikatnya, pelet kandung hanyalah sebuah bentuk rasa syukur dan meminta keselamatan bagi ibu dan calon bayinya kepada Allah SWT, sedari mengandung hingga melahirkan,” ujar K.H. Rumhol Islam, salah satu sesepuh dan tokoh agama di Desa Prenduan, Kecamatan Pragaan, Sumenep.
Dalam acara pelet kandung tersebut, si pemilik hajat biasanya mengundang sanak famili dan para tetangganya. Termasuk salah satu tokoh agama setempat yang akan memimpin jalannya selamatan. Di samping itu, biasanya juga mengundang dukun bayi atau dukun beranak. Nantinya, si dukun bayi tersebut diminta untuk memimpin acara penyiraman pada perempuan yang sedang mengandung.
Peralatan dan Tahapan-tahapan Acara Pelet Kandung
Sebelum acara inti dari pelet kandung dimulai, pihak pemilik hajat harus menyiapkan beberapa peralatan. Adapun peralatan dan perlengkapan ritual atau upacara pelet kandung adalah:
1). Kain putih (Madura: labun) sepanjang kurang lebih satu setengah meter, sebagai penutup kepala hingga separuh badan perempuan yang akan disiram atau dimandikan. 2). Air satu belanga 3). Kembang setaman yang nantinya dicampur pada air di belanga tadi. Bunga setaman tersebut merupakan simbul kesucian dan keharuman. 4). Gayung dari tempurung kelapa yang masih ada daging kelapanya, dengan gagang dari pohon beringin yang masih ada daunnya. 5). Kelapa gading yang telah ditulis ayat suci Al-Qur’an dan carakan. Namun, sebagian hanya ditulis Arab atau Al-Qur’an. 6). Dua telur ayam kampung. 7). Semangkok kecil minyak kelapa. 8). Satu ekor ayam hidup untuk diberikan kepada dukun bayi. 9). Berbagai macam hidangan, seperti ketan kuning, rujak dari berbagai macam buah-buahan, seperti mangga, delima, siwalan, mentimun, jeruk bali, dan lain-lain. Sementara, kue yang dihidangkan berupa kue wajik, cucur (kocor), uli (Madura: tettel), rengginang, pisang, dan berbagai kue lainnya sebagai pelengkap.
“Satu telur ayam kampung tersebut diletakkan ke dalam mangkok berisi minyak kelapa. Sementara, telur yang satunya dipegang oleh perempuan yang akan dimandikan tersebut. Nantinya, kan yang akan dimandikan duduk di kursi sambil memegang telur ayam kampung tersebut,” ujarnya.
Adapun tahapan sebelum sampai pada prosesi inti pelet kandung yakni penyiraman. Terlebih dahulu, dilaksanakan pembacaan serangkaian zikir dan Al-Qur’an yang dipimpin oleh kiai atau tokoh agama setempat. Adapun surat Al-Qur’an yang dibaca adalah surat Yusuf, surat Maryam, surat Yasin, surat Luqman, dan surat Al-Waqi’ah. Setelah selesai pembacaan doa dan surat-surat Al-Qur’an tersebut, kemudian membaca shalawat bersama-sama.
“Proses pemandian biasanya ada yang dibarengin dengan pembacaan shalawat. Ada pula yang dimandikan setelah semuanya selesai (pembacaan zikir, surat-surat Al-Qur’an, dan shalawat). Sesuai tradisi kampung atau daerah masing-masing,” terang K.H. Rumhol.
Pada saat penyiraman tersebut dipimpin oleh dukun bayi. Sebelum dilakukan penyiraman, perempuan yang sedang mengandung tersebut dibawa ke dalam kamar untuk diurut pada bagian perut terlebih dahulu. Tujuannya untuk memperbaiki posisi bayi (Madura: mateppa’ kennengnganna baji’). Baru kemudian, setelah selesai diurut, dibawalah (perempuan yang sedang mengandung) keluar ruangan untuk disiram.
Perempuan yang sedang mengandung tersebut duduk di sebuah kursi, di samping air yang sudah dicampur dengan kembang setaman. Sebelum disiram, sang perempuan ditutupi kain putih setengah badan, dari kepala hingga perut. Namun, sebagian pula, ada yang ditutupi dari leher hingga perut, dengan tujuan agar semua rambutnya basar terkena air dengan kembang setaman tersebut.
“Sambil disiram, si perempuan hamil tersebut harus tetap memegang kelapa dan telur yang diletakkan di antara dua pahanya hingga acara penyiraman selesai. Biasanya, setelah selesai disiram, telur tersebut dijatuhkan dan diinjak. Kemudian, sang perempuan langsung berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian, dan tidak dianjurkan untuk menoleh ke belakang. Namun, ada juga yang meminta telur tersebut untuk dikonsumsi langsung. Biasanya, diminta oleh perempuan yang belum dikaruniai keturunan,” kata Juhairiyah, salah satu dukun bayi di Kampung Pangelen, Desa Prenduan, Pragaan, Sumenep.
Proses penyiraman tersebut berlangsung kurang lebih 10-30 menit. Orang yang menyiram biasanya dari pihak keluarga. Baik dari pihak istri, suami, atau sanak keluarga lainnya.
“Tradisinya penyiraman macam-macam. Ada yang disiram bersama sang suami. Ada pula yang tidak. Kalau yang disiram kedua-duanya (suami istri), biasanya orang-orang Sumenep bagian timur, seperti Kecamatan Kalianget, Dungkek, Batang-batang. Kalau Sumenep bagian barat, cukup dari pihak istri saja,” pungkasnya.