Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan, UTM Kritisi RUU KUHAP
Bangkalan – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini masih digodok oleh DPR RI menuai polemik. Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam RUU KUHAP adalah tumpang tindih kewenangan penyidikan.
Menanggapi hal tersebut, Universitas Trunojoyo Madura (UTM) bersama sejumlah akademisi menggelar Forum Group Discussion (FGD) guna membahas permasalahan tersebut. Dalam RUU KUHAP, kewenangan Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai tidak lagi setara satu sama lain, yang berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan.
Dalam FGD tersebut, Fakultas Hukum UTM mengangkat tema “Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Perundang-undangan Terkait RUU KUHAP” dengan tujuan mengembalikan desentralisasi kewenangan tiga pilar penegak hukum, yakni Polri, Kejaksaan, dan Hakim.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UTM, Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan, menegaskan bahwa dalam proses perancangan RUU KUHAP, pembentuk undang-undang harus mencermati secara mendalam level kewenangan tiap lembaga APH, sehingga saat KUHAP diundangkan, prinsip sistem peradilan tetap terpenuhi.
“Tujuan dan kewenangannya harus jelas serta tidak terjadi tumpang tindih atau overlapping,” ujarnya pada Selasa (18/2/2025).
Anggota Dewan Pertimbangan DIHPA ini juga mengingatkan bahwa pembentuk undang-undang harus memiliki pemahaman yang komprehensif agar tidak ada kewenangan yang tercecer.
Lebih lanjut, Prof. Deni menekankan pentingnya kepekaan terhadap persoalan kewenangan di tingkat lembaga APH. Oleh karena itu, segala hal yang bersifat distortif dan ambigu harus dihilangkan terlebih dahulu.
“Sehingga ketika KUHAP diundangkan, prinsip sistem peradilan pidana dapat dipastikan sudah terpenuhi,” jelasnya.
Di tengah wacana revisi RUU KUHAP, muncul berbagai pendapat terkait kewenangan penyidikan. Beberapa pihak berpendapat bahwa kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, sementara yang lain ragu atau bahkan menolak kewenangan tersebut.
Salah satu poin krusial yang terus menjadi sorotan dalam RUU KUHAP adalah penghapusan tahap penyelidikan dalam proses hukum. Padahal, penyelidikan merupakan tahap awal yang sangat penting untuk menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke tahap penyidikan.
“Frasa dalam RUU KUHAP memiliki banyak tafsir. Di satu sisi, ada ketidakjelasan. Di sisi lain, kejaksaan memiliki kewenangan lebih luas. Namun, di sisi lain lagi, menurut saya, kejaksaan justru tidak dapat melakukan penyidikan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor),” pungkasnya.
Diketahui, dalam RUU KUHAP Pasal 30B disebutkan bahwa kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara pidana umum. Padahal, sebelumnya kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh kepolisian.
Tak hanya itu, dalam Pasal 12 Ayat (11) juga diatur bahwa apabila laporan masyarakat kepada polisi tidak diproses dalam waktu 14 hari, maka masyarakat dapat melaporkannya ke kejaksaan, dan jaksa berhak melakukan tahapan penyidikan.
Ketentuan tersebut dinilai berpotensi mengikis kewenangan kepolisian, sehingga banyak pihak mendesak agar RUU KUHAP direvisi sebelum disahkan.