BRI : Bank Rakyat atau Bank Rahasia?
Oleh: Fauzi As
Tulisan ini adalah surat tak resmi, ditujukan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Sebuah refleksi dari rakyat kecil yang tak tahu jalur formal, tapi tahu rasa janggal.
Tahun 2024 boleh jadi bukan tahun manis bagi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Tapi jangan khawatir, bukan berarti tahun yang pahit juga. Justru bisa dibilang: tahun penuh rasa rahasia.
Karena jika dulu BRI dikenal sebagai Bank untuk Rakyat, kini rakyat mulai bertanya-tanya, apakah "Rakyat" itu nama samaran dari segelintir orang yang bisa rapat tanpa notulen?
Di atas kertas, BRI adalah lembaga keuangan milik negara yang dipercaya rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Tapi dalam praktiknya, mulai dari Sabang sampai Sumenep, dari proyek infrastruktur hingga bantuan pendidikan, nama BRI mencuat bukan karena sukses KUR atau inovasi digital.
Tapi karena aroma dugaan skandal yang lebih tajam dari parfum ruangan di lobi gedung KPK.
Mari kita mulai dari ujung timur Madura: Kabupaten Sumenep. Tanah kelahiran garam dan santri. Tapi kini juga jadi tanah percobaan rekening siluman.
Program Indonesia Pintar (PIP) yang mestinya jadi cahaya bagi anak-anak miskin malah berubah menjadi hantu yang menakutkan.
Anak-anak yang bahkan belum tahu cara buka ATM, tiba-tiba punya rekening. Dan bukan sembarang rekening: sudah cair, tanpa mereka sadari.
Ketika ditanya, orang tua siswa bingung. Katanya, “kami tidak pernah tanda tangan.” Tanda tangan untuk apa? Tidak tahu. Ini bukan transformasi digital, tapi pendidikan kriminal materinya: cara memalsukan dokumen dengan senyuman.
Hebat betul BRI di Sumenep. Mampu membuka rekening tanpa diketahui pemiliknya.
Bahkan dalam beberapa kasus, kartu dicetak, disimpan, dan dikelola bukan oleh keluarga penerima manfaat, tapi oleh “jaringan misterius” yang katanya sih, dekat dengan sekolah dan BRI.
Seorang tokoh masyarakat dengan getir berkomentar: “Kalau Dumbledore melihat ini, dia pasti pindah dari Hogwarts ke Unit Gapura.”
Karena ternyata, keajaiban sejati bukan ada di dunia sihir, tapi di lembar-lembar dokumen pembukaan rekening yang bisa muncul entah dari mana.
Dan saat rakyat mulai bersuara, berharap pada hukum, Kejaksaan Negeri Sumenep malah menghentikan penyelidikan.
Alasannya? Saksi kunci hilang. Hilang ke mana? Mungkin ke balik pintu sunyi birokrasi. Atau, seperti yang beredar dari mulut ke mulut: “hilang” bukan karena tak ditemukan, tapi karena tak ingin ditemukan.
Jaksa yang mestinya bersenjata hukum dan nurani, malah tampil seperti ayam kehujanan. Basah, diam, dan menunggu reda. Padahal rakyat butuh harapan, bukan alasan.
Lebih tragis lagi, dalam pengakuan yang sempat beredar, oknum petugas BRI justru menyebut bahwa rekening-rekening tersebut memang dibuka dengan data palsu, atas inisiatif mereka sendiri.
Tidak hanya satu dua, tapi banyak. Tapi bukannya masuk daftar tunggu sel tahanan, mereka justru masuk daftar "lupa ditindak".
Sementara itu, pelaku yang disebut-sebut sebagai aktor utama sempat datang… bukan ke kantor polisi, tapi ke yayasan tempat dugaan pemotongan dana dilakukan. Tujuannya? Meminta maaf.
Seolah ini hanya soal kelalaian sosial, bukan pidana korupsi. Sementara temannya yang lain sudah mengembalikan uang hasil rampokan.
Hebat! Perampok mengembalikan hasil rampokan, dan hukum pun ikut tenang. Ini bukan pengadilan, tapi pengampunan kolektif atas nama lugu dan lali.
Anehnya, nyali ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung seolah tak pernah sampai ke ujung Madura. Di pusat, gebrak meja, di daerah... hilang arah. Apakah karena kejaksaan di daerah kehabisan alat bukti? Atau memang tak ingin mencari lebih dalam?
Kami rakyat tak berharap banyak. Kami hanya ingin keadilan bekerja. Bukan dengan konferensi pers, tapi dengan keberanian menindak.
Kalau memang PIP diacak-acak, dan BRI berperan aktif dalam hal itu, maka mestinya bukan anak-anak yang menanggung, tapi orang-orang yang menyulap bantuan jadi bancakan segera di tangkap.
Dan kalau kejaksaan benar-benar kesulitan, izinkan kami mengusulkan: kirim jaksa dari Kejagung, atau ganti seluruh Jaksa di Sumenep.
Karena yang sedang dihadapi bukan sekadar penggelapan dana, tapi pembunuhan harapan anak bangsa dengan pena dan meterai.
Kalau BRI masih merasa sebagai Bank Rakyat, buktikan. Karena kalau terus begini, jangan salahkan rakyat bila menyebutnya Bank Rahasia Indonesia, penuh misteri, minim empati.