TANGIS KEPULAUAN UNTUK KEADILAN: MASYARAKAT KUMPULKAN DONASI HASIL ALAM UNTUK KAWAL KASUS BSPS

Ilustrasi
Sumber :

 

“Kami lelah menunggu, kami tidak ingin hukum tunduk pada uang.”

Ketua GP Ansor Jatim Apresiasi TNI: “Kepulauan Jadi Alarm Bahaya Jaringan Narkoba”

 

Sumenep – Di tengah gelombang laut dan semilir angin pesisir, sekelompok warga dari pelosok Kepulauan Kangean berkumpul. Bukan untuk pesta, bukan pula panen raya. Mereka menggelar tikar sederhana, menghitung hasil donasi yang terkumpul: dua karung beras, satu karung jagung, dan 19 kilogram ikan asin. Itulah yang mereka punya. Itulah yang mereka kumpulkan. Untuk apa? Untuk menuntut keadilan.

Berhasil Amankan 43 KG S4bu, Babinsa Masalembu Terima Penghargaan Pangdam V Brawijaya

 

Berlarut-larutnya kasus dugaan korupsi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang hingga kini tak kunjung dituntaskan, telah menggores luka mendalam bagi masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat. Bukannya mendapat rumah layak huni, yang mereka dapat hanyalah janji kosong dan penantian tanpa ujung.

Pemkab Pamekasan Berhutang BPJS, Peserta JKN Tidak Berlaku

 

“Kami lelah menunggu. Pelaku korupsi masih bebas tertawa. Sementara kami, rakyat kecil, hanya bisa menatap reruntuhan harapan,” ujar Surahmano, warga Kecamatan Kangayan, dengan mata berkaca-kaca.

 

Ia mengungkapkan bahwa masyarakat memutuskan untuk mengumpulkan donasi dari hasil alam mereka yang terbatas, meski di tengah kesulitan ekonomi yang makin berat. “Kami tahu ini tak seberapa, tapi ini suara kami. Ini bukti bahwa kami tak tinggal diam melihat keadilan diinjak-injak,” lanjutnya.

 

Mereka berencana menjual hasil donasi ini untuk bekal menuju Kejaksaan Agung di Jakarta. Jika perlu, mereka akan berkemah di sana—di halaman hukum yang kini mereka pertanyakan keberpihakannya.

 

“Kami ingin memastikan penegak hukum tidak masuk angin. Kalau mereka bisa disuap oleh pelaku korupsi, maka kami ingin lebih dulu memberikan yang kami punya. Mungkin dengan sedikit jagung dan ikan asin, mereka bisa mendengar jeritan kami,” tutur Surahmano lirih.

 

Aksi ini bukan hanya bentuk protes, tapi juga potret pilu rakyat kepulauan: mereka yang jauh dari pusat kekuasaan, namun dekat dengan luka karena pengkhianatan oleh para pemangku kebijakan.

 

“Pelaku sudah jelas. Kasus sudah terang. Tapi kenapa keadilan masih gelap?” ujar seorang ibu sambil menyeka air mata.

 

Warga berharap, aksi ini bisa menggugah nurani. Mereka tahu, mereka bukan siapa-siapa. Tapi mereka juga tahu: ketika yang lemah bersatu, suaranya bisa mengguncang kekuasaan.

 

"Jika hukum tidak bisa melindungi rakyat, maka rakyatlah yang harus melindungi hukum dari kebusukan.” Pungkasnya.