Melihat Indonesia Sebagai Laboratorium Pangan Dunia: Antara Potensi dan Pertarungan Kuasa

Antara Potensi dan Pertarungan Kuasa
Sumber :
  • Diaz Rizal

VIVA Madura – Sudah tak terhitung berapa kali kita mendengar bahwa negeri ini adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Ucapan itu bukan tanpa dasar. Sejak masa pra-kemerdekaan, bangsa-bangsa Eropa berebut wilayah di Nusantara, karena kekayaan alamnya yang luar biasa. Bahkan para ilmuwan dunia, seperti Alfred Russel Wallace—rekan Charles Darwin—memilih Indonesia sebagai lokasi riset karena keanekaragaman hayatinya yang tak tertandingi.

Surat Untuk Polisi Militan "PM"

 

Namun, di balik segala kemegahan potensi itu, realitas yang kita hadapi justru menyimpan kontradiksi yang tajam. Di tengah limpahan sumber daya, Indonesia masih menghadapi kerawanan pangan, ketimpangan akses, dan marginalisasi petani. Di sinilah relevansi melihat Indonesia sebagai “laboratorium pangan dunia” menjadi semakin jelas—bukan sekadar karena biodiversitasnya, tetapi karena Indonesia adalah medan konflik atas produksi dan distribusi pangan global.

Siapa Saja Para Aspirator BSPS Madura? AMSP Akan Bersuratan ke Ketua DPR RI dan Presiden Prabowo

 

Melalui lensa materialisme historis, kita menyadari bahwa kontrol atas sumber daya pangan tak pernah netral. Eksperimen seperti food estate, pertanian berbasis teknologi tinggi, maupun kebijakan kemitraan justru memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa laboratorium pangan ini dikendalikan oleh segelintir elit: korporasi agribisnis transnasional dan oligarki lokal. Mereka menguasai alat produksi, menentukan arah inovasi, dan seringkali mengabaikan pengetahuan serta kearifan lokal para petani.

Program UPLAND Kementan Berpotensi Jadi Ladang Korupsi di Sumenep

 

Relasi produksi kapitalistik menjadikan alam bukan sebagai mitra hidup, melainkan objek eksploitasi. Hutan digunduli, tanah digali, laut dirusak. Kapital memaksa alam tunduk pada logika akumulasi. Bahkan narasi “wahabi lingkungan” yang muncul beberapa waktu lalu menjadi bentuk lain dari manipulasi wacana: menjadikan isu lingkungan sebagai dogma, tanpa menyentuh akar sistemik—yakni perampasan sumber daya oleh segelintir elite dengan dalih pembangunan.

 

Laboratorium Pangan: Teknologi, Ketimpangan, dan Kepentingan Siapa?

 

Seiring waktu, status Indonesia sebagai laboratorium pangan dunia kian dilembagakan. Inovasi teknologi pertanian, digitalisasi rantai nilai, kemitraan kontrak antara petani dan korporasi, serta komodifikasi produk superfood lokal jadi bagian dari eksperimen besar yang sedang berlangsung.

 

Namun di balik retorika efisiensi dan modernisasi, tersembunyi risiko serius: marginalisasi petani gurem, komersialisasi benih, penghilangan pengetahuan lokal, dan penguasaan pasar oleh segelintir pemain besar. Inisiatif yang diklaim “berkelanjutan” pun seringkali hanya menjadi label hijau untuk memperhalus proses akumulasi kapital.

 

Meski demikian, bukan berarti semua telah hilang. Di tengah arus kapitalisasi pangan, ruang perlawanan tetap terbuka. Gerakan petani, komunitas adat, koperasi tani, dan akademisi progresif memiliki peran strategis dalam merebut kembali kedaulatan atas pangan.

 

Langkah-langkah konkret seperti reforma agraria sejati, penguatan sistem agroekologi, riset partisipatif berbasis kearifan lokal, dan penyediaan teknologi tepat guna yang berpihak pada rakyat adalah jalan menuju emansipasi.

 

Namun perjuangan ini tentu tidak mudah. Kita menghadapi tantangan besar: dominasi kekuatan modal, lobi politik anti-perubahan, fragmentasi sosial, lemahnya infrastruktur pangan, dan hegemoni wacana neoliberal yang menyingkirkan nilai keadilan sosial dan ekologis.

 

Pertanyaan paling mendasar adalah: siapa yang sesungguhnya mengendalikan laboratorium besar bernama Indonesia ini? Untuk kepentingan siapa setiap eksperimen dan kebijakan dijalankan? Apakah untuk rakyat, atau untuk segelintir pemodal?

 

Setelah menyadari potensi yang kita miliki, akankah kita terus membiarkan tanah, air, dan benih kita dikendalikan tanpa suara? Atau justru saatnya kita bangkit, merebut kembali kendali, dan membangun sistem pangan yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan?