Usai Menkes Tinjau KLB Campak, Pasien Malah Pilih Kabur dari Sumenep
SUMENEP – Ironi sekaligus tamparan keras bagi dunia kesehatan di Kabupaten Sumenep. Baru saja Menteri Kesehatan RI meninjau langsung Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di kota keris ini, eh sejumlah pasien malah lebih memilih dirawat di luar daerah, tepatnya di Kabupaten Pamekasan.
Fenomena ini jelas bikin geleng-geleng kepala. Bayangkan, di tengah status KLB, saat semua mata tertuju pada Sumenep, para pasien justru lari mencari pelayanan kesehatan ke tetangga sebelah. Bukannya bangga punya rumah sakit sendiri, malah terlihat seperti “tidak percaya” dengan fasilitas kesehatan yang tersedia.
Kepala Dinas Kesehatan P2KB Sumenep, Ellya Fardasyah, justru terkesan kaget saat dikonfirmasi. “Saya belum tahu malah, maaf ya,” ucapnya.
Lebih jauh, Ellya menduga warga memilih ke Pamekasan karena alasan jarak yang lebih dekat, bukan karena layanan di Sumenep tidak memadai. “Kalau sama data saya sih masih cukup,” katanya percaya diri.
Selain itu, pejabat Dinkes Sumenep menyebut fenomena ini bukan hal baru. “Bukan campak saja sih. Kadang kasus-kasus lain juga ke Pamekasan,” ujarnya. Pernyataan ini seolah menjadi pengakuan telanjang, bahwa masyarakat Sumenep memang sudah lama lebih percaya pada layanan kesehatan di luar kabupaten.
Lucu tapi getir, KLB campak di Sumenep rupanya berhasil memperlihatkan fakta pahit, saat pejabat sibuk rapat, sosialisasi, dan pencitraan, masyarakat justru diam-diam memilih jalur aman dengan lari ke rumah sakit tetangga.
Sayangnya, faktanya berbeda, menurut dr. Nono Ifantono, di RSUD Mohammad Noer Pamekasan rata-rata ada delapan pasien campak asal Sumenep yang ditangani setiap hari.
Menanggapi hal tersebut, salah satu kelurga pasien S-L, menyindir, kalau memang fasilitas kesehatan di Sumenep sudah “cukup”, kenapa justru pasien lebih nyaman cari pengobatan ke luar daerah? Apakah ini sekadar soal jarak, atau sebenarnya ada hal yang jauh lebih serius, mulai dari pelayanan, kepercayaan, hingga kualitas penanganan?
" Kalau begini terus, jangan-jangan status KLB berikutnya bukan soal penyakit, tapi KLB 'kehilangan kepercayaan' terhadap layanan kesehatan sendiri ", pungkasnya.