Madura Mart Menjamur, KMY Yogyakarta Sarankan Tegakkan Etika Dagang Perantau Madura
Yogyakarta – Demi menciptakan iklim usaha yang sehat, harmonis, dan tertib bagi seluruh pelaku usaha, Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) resmi memperkenalkan Pedoman Etika Berusaha bagi perantau Madura yang mengelola toko kelontong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pedoman ini disusun melalui proses musyawarah yang melibatkan pengurus organisasi dan para niagawan Madura. Ketua KMY, Jugil Adiningrat, menegaskan bahwa aturan ini merupakan kesepakatan bersama demi menjaga kerukunan antarpedagang maupun dengan warga lokal.
“Besar harapan kami agar kebijakan ini menjadi dasar sosialisasi bagi pemerintah daerah dalam mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat, harmonis, dan tertib bagi seluruh pelaku usaha toko kelontong di Yogyakarta,” ujar Jugil, warga Madura asal Sumenep.
Adapun tiga poin utama dalam pedoman tersebut antara lain:
1.Jarak dengan Toko Lokal
Warga Madura yang membuka toko kelontong wajib menjaga jarak minimal 50 meter dari toko milik warga lokal. Alternatifnya, dapat ditempuh melalui koordinasi dan izin (kulonuwun) kepada pemilik toko setempat, sehingga jarak bisa lebih fleksibel berdasarkan kesepakatan bersama.
2.Jarak Antarsesama Toko Madura
Setiap toko kelontong milik warga Madura wajib berjarak minimal 300 meter dari toko sejenis yang juga dimiliki warga Madura.
3.Pengesahan Bersama
Seluruh ketentuan ini telah disahkan dalam forum musyawarah yang dihadiri pengurus KMY, perwakilan niagawan, serta Pengurus Toko Kelontong Madura Yogyakarta.
Menurut Jugil, kebijakan ini merupakan langkah strategis dan elegan untuk meminimalisir potensi konflik usaha sekaligus meneguhkan nilai kerukunan, saling menghormati, dan gotong royong dalam dunia usaha. “Tujuan kita adalah menjaga kerukunan, baik antara warga Madura dengan warga lokal, maupun sesama perantau Madura di Yogyakarta,” tandasnya.
Perlu diketahui, Jugil Adiningrat semakin dikenal di kalangan perantau Madura di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain aktif sebagai Ketua Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) dan menggagas Pedoman Etika Berusaha untuk menjaga kerukunan antarperantau, Jugil juga memiliki sisi lain yang lekat dengan akar budaya tanah kelahirannya.
Pria kelahiran Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep ini dikenal sebagai seorang budayawan pusaka keris. Sejak lama, ia konsisten menjaga eksistensi keris Sumenep—sebuah warisan budaya yang sarat nilai sejarah dan filosofi—hingga ke perantauan.
“Bagi saya, keris bukan sekadar pusaka, tapi simbol jati diri orang Madura, khususnya Sumenep. Meski hidup di tanah rantau, saya merasa punya tanggung jawab untuk melestarikannya,” ujar Jugil.
Di Yogyakarta, Jugil kerap menjadi rujukan komunitas budaya dan kolektor pusaka yang ingin mengenal lebih dalam tentang keris Sumenep. Aktivitasnya tak hanya sebatas menjaga koleksi, melainkan juga mengedukasi generasi muda agar tidak tercerabut dari akar budayanya.
Komitmennya menjaga tradisi ini berjalan seiring dengan perannya sebagai tokoh muda perantau. Selain membangun harmoni antarwarga melalui etika berdagang, ia juga menghidupkan kembali kebanggaan terhadap warisan leluhur.
“Harapan saya sederhana, budaya kita jangan sampai hilang. Justru di perantauan, kita harus semakin kuat menjaga identitas sebagai orang Madura,” tegasnya.
Dengan sepak terjangnya, Jugil Adiningrat kini tak hanya dipandang sebagai penggerak harmoni sosial-ekonomi perantau Madura di Yogyakarta, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai budaya luhur yang diwariskan dari tanah kelahirannya di Sumenep.