Ditangan 18NU, Proyek UPLAND Berubah Jadi UPLINE

Upland pertanian
Sumber :

Oleh: Fauzi As

 

Di sebuah daerah yang tak perlu disebut namanya, karena bisa saja di utara, selatan, atau bahkan di halaman belakang republik ini.

 

Sekelompok petani menerima kabar baik: mereka masuk program strategis bernama UPLAND, kolaborasi keren antara pemerintah Indonesia dan dua lembaga kelas kakap, IFAD dan ISDB.

 

Tujuan program ini mulia. "Meningkatkan produktivitas petani di dataran tinggi."

 

Tapi, seperti kisah-kisah lama yang tak pernah basi, niat mulia bisa berubah jadi muslihat begitu sampai di tangan yang salah. Dan dalam kisah ini, tangan itu bernama 18NU.

 

Ponakan Siapa?

Siapa dia? Tak jelas. Tapi dia mengaku “ponakan bupati.” Bupati siapa? Masih misteri. Bisa jadi bupati aktif, bupati cadangan, atau bahkan bupati versi hologram.

 

Yang jelas, begitu 18NU bicara, semua urusan langsung mengalir. Tak tercatat di struktur proyek, tak hadir saat pelatihan, tak pernah kedapatan pegang cangkul. Tapi soal anggaran, dia yang pegang kendali.

 

Molase dan mulsa mungkin masih jadi tebak-tebakan baginya, tapi tanggal pencairan dan nama toko pengadaan? Hafal luar kepala.

 

Dana Cair, Tapi Ada yang Disunat Duluan

Setiap kelompok tani peserta UPLAND mendadak mendapat “pengarahan teknis.” Tapi bukan dari penyuluh, bukan juga dari dinas. Dari siapa? Ya dari tim 18NU.

Arahan utamanya cuma satu: “Setor 20 persen dulu, baru bantuan lancar.”

 

Ini bukan pajak, bukan zakat, bukan sedekah. Ini “biaya koordinasi,” versi mereka. Tidak setor? Siap-siap dikucilkan dari proyek. Sudah setor? Silakan nikmati paket bantuan... yang sudah dipilihkan tanpa hak pilih.

 

Petani dipaksa beli alat dan barang dari toko rekanan 18NU. Harga? Sesuai RAB, bukan sesuai kebutuhan. Kalau ada yang protes, jawabannya sudah siap: “Ini bantuan luar negeri, harus disyukuri.”

 

Pertanyaannya, bagaimana mau bersyukur kalau yang datang justru beban?

 

Kelompok Tani: Dulu Mandiri, Kini Sapi Perah. Dulu, kelompok tani adalah simbol gotong royong. Sekarang, berubah jadi objek penyaluran proyek. Bukan dibina, tapi dijadikan jalur formal untuk menguras informalitas.

 

Yang lalu-lalu barang datang tak sesuai usulan, berita acara terkesan dipaksa ditandatangani, dan semua harus tunduk pada skenario yang sudah ditulis oleh 18NU dan koleganya.

 

Beberapa kelompok bahkan harus patungan lagi, karena “harga proyek” lebih mahal dari harga pasar. Tapi ini katanya “standar.” Ya, standar versi 18NU, mungkin disusun berdasarkan harga di Jakarta, bukan sawah.

 

Alhasil, petani tak lagi merasa dibantu, tapi justru ditindas secara sistematis.

Yang panen pertama bukan petani, tapi para koordinator siluman yang tak pernah kotor karena lumpur.

 

Halo Pak Menteri, Sudah Dengar Cerita Ini?

Pak Menteri Pertanian yang kami hormati, kami tahu Anda sibuk di Jakarta. Tapi sesekali, mohon tengok ke lereng-lereng bukit, ke sawah-sawah kecil tempat petani harus setor “komitmen fee” agar bisa mencicipi program negara.

 

Ini bukan pungli diam-diam. Ini pungli terang-terangan, dengan label “koordinasi lapangan,” kadang dibungkus “penyesuaian administrasi.”

 

Apakah IFAD dan ISDB tahu bahwa dana kemanusiaan yang mereka pinjamkan itu berubah fungsi jadi dana infaq wajib ke tangan non-struktural?

 

Apakah mereka sadar, kesejahteraan petani kini menjadi proyek oligarki lokal yang menjual kedekatan sebagai izin memalak?

 

Menyemai Ketakutan, Memanen Setoran

Petani tidak butuh dikasihani. Mereka hanya ingin sistem makin waras.

Sistem yang memberi ruang untuk tumbuh, tidak menindas.

 

Tapi dengan skema seperti ini, benih yang ditanam adalah ketakutan, dan hasil panennya adalah setoran paksa.

 

Dan selama ada tokoh-tokoh fiktif seperti 18NU, yang modalnya cuma silsilah dan nama belakang maka proyek pertanian tak akan pernah benar-benar menyentuh akar.

 

Bukan soal alat dan bibit, ini soal siapa yang lebih dulu memanen keuntungan dari sistem. Dan itu bukan petani.

 

Catatan Terakhir: Panen Gimik

Tahun 2022 lalu, saya pernah menulis kritik soal acara panen raya di hadapan Bupati dan Forkopimda.

 

Bawang merah yang dipanen bukan hasil program UPLAND. Bahkan bibitnya pun bukan dari bantuan pemerintah.

 

Apa hasil dari kritik itu? Tidak banyak. Mungkin karena yang diserang bukan substansi yang menyeret pada meja hukum.

 

Sekarang waktunya penegak hukum turun tangan. Kalau APH masih tidur, maka 18NU dan jejaringnya akan terus merajalela, menjadikan kelompok tani sebagai ladang kekuasaan dan sumber dana dadakan.

 

Di tempat kami, UPLAND sudah ganti nama. UPLINE: Uang Petani Langsung Infaq ke 18NU. Versi ini lebih fleksibel nadanya, tetap tajam dan mengandung sindiran menyeluruh pada sistem dan aktor utama.