Harga BBM di Kepulauan Sumenep Tidak Satu Harga, Ada Mafia BBM?
Sumenep-, Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di wilayah Kepulauan Sumenep, Madura, ibarat menu makanan di warung kaki lima: banyak varian harga, tergantung siapa penjualnya. Padahal, sejak lama Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan “BBM Satu Harga”. Namun, entah mengapa, instruksi itu tampaknya berhenti di udara sebelum menyeberang ke pulau-pulau terpencil Sumenep.
Alih-alih merasakan keadilan energi, masyarakat Kepulauan justru dipaksa memikul beban “harga khusus” hasil permainan pihak tertentu. Ironisnya, praktik ini semakin terasa sejak pandemi Covid-19, ketika kondisi ekonomi nelayan terpuruk, namun harga BBM justru melambung tanpa kendali.
“Pastinya harga BBM sangat berbeda jauh dengan di daratan, itu sudah berlangsung sejak lama. Kami nelayan dipaksa untuk membeli, karena kalau tidak, perahu kami tidak jalan,” ungkap Saiful, nelayan asal Pulau Kangean.
Saiful hanya bisa pasrah. Baginya, sebagai kepala keluarga, pilihan itu bukan soal untung-rugi, melainkan hidup atau mati keluarganya.
Hasil penelusuran tim investigasi madura.viva.co.id menemukan dugaan kuat adanya mafia BBM yang sudah lama beroperasi di Sumenep. Skema ilegal ini tentu tidak akan berjalan mulus tanpa keterlibatan oknum berwenang dalam rantai jual-beli dan distribusi BBM hingga sampai ke masyarakat kepulauan.
Dampaknya jelas: rakyat jadi korban. Tidak hanya soal harga yang melambung jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET), kualitas BBM pun kerap dipertanyakan.
Lebih janggal lagi, tim pernah menemukan sebuah SPBU di salah satu pulau yang hampir selalu tutup, tetapi data distribusi menunjukkan penyaluran BBM tetap berjalan lancar. Pertanyaannya, mengalir ke mana sebenarnya bahan bakar itu? Apakah benar sampai ke masyarakat, atau justru berbelok ke kantong para “mafia energi”?
Fenomena ini membuat masyarakat bertanya-tanya: apakah praktik kotor ini sengaja dipelihara? Seperti sapi perahan yang dibiarkan hidup agar terus menghasilkan, mafia BBM di Kepulauan Sumenep tampak nyaman menjalankan bisnis gelapnya.
Sementara rakyat kecil, terutama nelayan, terus menjadi korban yang tak berdaya.